nikah beda agamaPerspektif

Nikah Beda Agama dalam Persepektif Islam

Dalam pandangan Islam, pernikahan dinilai sebagai “sunnah”, sebagai tradisi yang mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW. Dari kajian terhadap ayat-ayat yang membahas soal pernikahan tersebut dapat disimpulkan sejumlah prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan bagi suatu pernikahan.

Pertama, prinsip monogami. Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang); ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi; keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun); dan kelima, prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan syariat.

Pernikahan beda agama atau lintas agama yang dimaksudkan dalam Islam adalah pernikahan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dan yang bukan Islam atau non-Muslim. Ada beberapa kategori berkaitan dengan yang dimaksud “non-muslim” ini, seperti “musyrik”, “kafir” dan “ahlul kitab”. Namun demikian, tidak ada kesepakatan di antara para ulama mengenai kelompok mana saja yang dapat dikategorikan sebagai musyrik, kafir atau ahlul kitab. Pada umumnya, pengertian musyrik dilekatkan pada kelompok yang menyekutukan Tuhan atau mengakui adanya tuhan selain Allah Swt., seperti para penyembah berhala, penyembah api dan sebagainya. Sementara kafir berarti orang-orang yang berada di luar Islam, orang-orang yang tidak beragama Islam. Kafir biasanya dikelompokkan ke dalam beberapa bagian. Pertama, kafir dzimmi yaitu orang-orang kafir yang masih tetap dengan agama lamanya akan tetapi ia mau untuk tunduk dan patuh pada ketentuan agama Islam dengan tidak memerangi umat Islam. Kedua adalah kafir harbi (yang memerangi umat Islam), Ketiga, kafir musta`min (yang diberi jaminan keamanan); dan keempat, kafir mu’ahad (yang berada dalam status perjanjian perdamaian dengan umat Islam). Sementara “ahlul kitab” mencakup para penganut agama yang memiliki kitab suci atau penganut agama-agama samawi (agama-agama langit), seperti Yahudi dan Nasrani.

Persoalannya, siapa yang dimaksud dengan musyrik, ahlul kitab dan kafir dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an ini? Apa perbedaan di antara ketiga kelompok ini? Musyrik dalam pengertian mufassirin atau ahli tafsir adalah sebutan yang ditujukan kepada seseorang yang mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, bisa berwujud manusia, benda, kekuasaan, harta, dan sebagainya. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan orang Islam bisa menjadi musyrik. Akan tetapi, yang dominan, pengertian musyrik selalu dimaknai secara sempit, yakni pemujaan atau penyembahan terhadap berhala, api atau lainnya. Padahal, dalam realitas sosiologis di masyarakat, termasuk dalam komunitas Muslim sendiri, telah terjadi pendewaan dan penyembahan terhadap kekuasaan, harta, jabatan atau terhadap makhluk Tuhan. Memaknai terminologi musyrik hanya untuk kalangan di luar Islam adalah sungguh menyesatkan, dan ini akan menyebabkan umat Islam kehilangan kesadaran untuk mengoreksi diri sendiri dari bahaya syirik.

Menurut pakar tafsir klasik, al-Raghib al-Asfahani, dari segi hukum, syirik terbagi dua, yakni syirik kecil dan syirik besar. Syirik kecil mempersekutukan Tuhan untuk maksud tertentu, misalnya untuk tujuan riya atau ingin mendapat pujian, sementara syirik besar mempersekutukan Tuhan dengan makhluk ciptaan-Nya dalam hal ketuhanan. Dengan kata lain, tidak adanya kesepakatan ini mengindikasikan betapa sulitnya memastikan bahwa seseorang itu musyrik atau bukan karena urusan ini lebih banyak berkaitan dengan keyakinan keagamaan seseorang yang sangat pribadi dan personal.

Sama halnya dengan istilah musyrik, istilah ahl al-kitab juga menimbulkan berbagai interpretasi. Sejumlah ulama membatasi ahl al-kitab pada kelompok Yahudi dan Kristen di masa Nabi saja. Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ahl al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani, baik yang dijumpai pada masa Nabi saw, maupun yang hidup di jaman sekarang. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa istilah ahlul kitab tidak terbatas hanya pada kelompok Yahudi dan Kristen, melainkan juga mencakup penganut agama Buddha dan Hindu, bahkan sebagian ulama menyebut agama lain, termasuk Majusi, agama Persia kuno dan agama orang-orang India, Cina dan Jepang.

Istilah kafir juga menimbulkan pemaknaan yang beragam. Umumnya ulama mengartikan kafir dengan pengingkaran terhadap Allah swt, para rasul beserta semua ajaran yang mereka bawa, dan hari akhirat. al-Qur’an sendiri menggunakan sebutan kafir untuk beragam kelompok, yakni kepada orang-orang kafir sebelum kerasulan Muhammad saw.; kepada orang-orang kafir Mekkah yang mengingkari Allah dan melecehkan Nabi saw; kepada orang-orang yang ingkar terhadap nikmat Allah swt; kepada orang-orang yang mencari pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah swt; kepada orang-orang yang tidak mau mengambil i’tibar dan cinta dunia; dan kepada orang-orang yang munafik dan murtad. Melihat beragamnya makna kafir ini, tidak tertutup kemungkinan banyak Muslim yang dapat disebut kafir, paling tidak kafir terhadap nikmat Allah swt.

Mengomentari ketiga terminologi tersebut, Abu al-A’la al-Maududi, salah seorang pemikir dan aktifis Islam dari Pakistan, menjelaskan, jika kita mengkaji isi kandungan al-Qur’an, ditemukan tiga istilah yang memiliki makna yang berbeda satu sama lain, yaitu musyrik, ahl al-kitab, dan ahl al-iman. Orang-orang musyrik yang digambarkan dalam al-Qur’an, seperti dalam al-Maidah, 5:17, 30 dan 73, dan al-Taubah, 9:30, pada hakikatnya adalah ahl al-kitab yang telah menyimpang dari ajaran kitab mereka yang asli. Akan tetapi, sungguh pun demikian al-Qur’an tidak menyebut mereka dengan istilah musyrik, melainkan ahlul kitab.

Dari ketiga terminologi yang problematik itu, persoalan pernikahan beda agama dengan non-Muslim juga ikut menjadi isu kontroversial dalam sejarah Islam. Ini berangkat dari penafsiran atas Surah al-Ma’idah ayat 5, “Dan dihalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminah dan ahl al-kitab sebelum kamu”. Apakah ini mencakup ahl al-kitab pada umumnya tanpa syarat, ataukah dengan syarat, ataukah pengertiannya juga mencakup kalangan musyrik dan kafir sebagai kelompok non-Muslim?
Dengan mengacu pada pengertian literal ayat ini, maka menikahi perempuan ahl al-kitab itu jelas boleh — sebagaimana telah diujarkan al-Qur`an dengan sangat tegas (qathi’iy) dan jelas (sharih) tanpa syarat suatu apa.

Pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai hal ini terpola kepada tiga pendapat:

Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara mutlak pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, baik yang dikategorikan musyrik maupun ahlul kitab dan larangan itu berlaku, baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki Muslim.

Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dan perempuan non-Muslim dengan syarat perempuan non-Muslim itu dari kelompok ahlul kitab, tetapi tidak sebaliknya.

Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, dan kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan.

Dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhaili menulis, “Ulama sepakat atas bolehnya perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ‘ahli kitab’. Dasarnya adalah surah Al-Maidah, ayat 5. Beberapa orang sahabat Nabi menikahi perempuan ahl al-kitab. Contohnya, Utsman bin Affan menikahi Nailah binti al Farafishah yang Nasrani. Khudzaifah mengawini perempuan Yahudi”.

Memang ada perdebatan kecil mengenai hal ini. Sebagian mensyaratkan bahwa kebolehan tersebut hanya berlaku bagi penganut Yahudi atau Nasrani sebelum adanya pemalsuan (atau tahrif) atas kitab suci mereka. Tetapi Wahbah mengatakan: “yang terkuat adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya tanpa syarat, karena teks Al-Quran itu begitu jelas tanpa syarat”. Dalam banyak perbincangan soal ini, selalu muncul perdebatan: bukankah orang Kristen adalah musyrik karena mempertuhankan Yesus?

Mengenai soal ini, al-Juzairi punya pandangan sendiri, sebagaimana dikemukakan dalam karyanya, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah. Menurutnya, “Ayat ini menunjukkan halalnya laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab berdasarkan ‘nash’ (teks explisit), meskipun perempuan tersebut mengatakan, ‘Al-Masih (Isa) adalah ‘ilah (tuhan)’ atau ‘tsalitsu tsalatsah’ (satu dari tiga oknum), padahal itu musyrik, Allah membolehkannya karena mereka (perempuan) menganut agama langit dan mempunyai kitab suci”.

1 2Next page

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button