Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Soalnya, perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian. Seperti pasangan nikah beda agama Okky dan Dewi, dimana Okky yang Katolik dispensasi dari Keuskupan Agung Jakarta setelah di rekomendasi oleh seorang pastor dari paroki Santo Stephanus Cilandak Jakarta Selatan.
Dispensasi atau pengecualian dari Uskup ini baru akan diberikan apabila ada harapan dapat terbinanya suatu keluarga yang baik dan utuh setelah perkawinan. Juga untuk kepentingan pemeriksaan, untuk memastikan tidak adanya halangan perkawinan. Dan juga untuk diumumkan dalam paroki, untuk memastikan bahwa prosesnya wajar, dan bahwa kedua pihak menikah dalam keadaan sadar dan sukarela, bukan dalam keterpaksaan. Mengapa demikian? Karena dalam pandangan Katolik, perkawinan yang didasarkan pada hubungan cinta kasih sejati, tanpa ada kaitannya dengan agama apapun, tetap harus diterima sebagai yang suci karena berdasar pada berkat Allah kepada manusia yang adalah laki-laki dan perempuan.
Dalam Hukum Kanonik, perkawinan antar agama disebut “kawin campur”, dengan rincian pengertian sebagai berikut:
1. Dalam arti luas, perkawinan antara orang yang dipermandikan, tak peduli apapun agamanya atau bahkan tak beragama. Beda agama disebut dengan disparitas cultus, sebagaimana disebut dalam Kanon 1129. Tiadanya permandian (baptisan) ini merupakan penghalang bagi penganut Katolik untuk menikah dengan sah. Untuk dapat menikah dengan bukan Katolik, seseorang harus memperoleh dispensasi.
2. Dalam pengertian sempit, yakni perkawinan antara dua orang terbaptis yang satu di antaranya terbaptis dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan pihak lainnya tercatat pada gereja yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, lazimnya disebut Mixta religio atau beda gereja.
Dengan demikian, perkawinan campur dalam pengertian luas mencakup pengertian antara penganut Katolik dan penganut beragama Islam, Hindu, atau Buddha misalnya, karena ketiga agama yang terakhir ini tidak mengenal adanya pembaptisan atau pemandian. Sementara pengertian sempit di atas, mengandung arti perkawinan antara penganut agama Katolik dengan penganut agama Protestan misalnya karena kedua agama sama-sama mengenal adanya pembaptisan.
Menurut Hukum Kanonik, perkawinan dalam bentuk yang pertama, dilarang (seperti tertuang dalam Kanon 1086 dan 1124). Walau demikian, gereja Katolik ternyata cukup realistis, sehingga memberi dispensasi, seperti dikemukakan di atas.
Selanjutnya, Kanon 1125 menetapkan bahwa dispensasi atau izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris Wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal. Izin itu tidak akan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: