Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Katolik

1. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja Katolik.
2. Mengenai janji-janji yang dibuat oleh pihak Katolik itu, pihak yang lain (dari pasangan yang non-Katolik itu) hendaknya diberitahu pada waktunya sedemikian rupa sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Dengan adanya syarat-syarat seperti dalam Kanon 1125 ini, tampak bahwa Agama Katolik mencegah penganutnya untuk beralih agamanya atau minimal mencegah menurunnya tingkat keimanan penganutnya setelah kawin dengan penganut agama lain.
Masalah berikutnya adalah soal janji agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja Katolik. Dalam tradisi masyarakat yang patrilineal, biasanya anak mengikuti ayah. Kalau kebetulan sang ibu beragama Katolik, sementara sang suami bukan penganut agama yang sama, maka tentu akan mengundang masalah.
Masalah berikutnya adalah soal ketentuan dalam Kanon 1056. Aturan ini menyatakan bahwa sifat-sifat perkawinan menurut Agama Katolik adalah monogami, dan tidak terceraikan sebelum salah satu di antara suami istri meninggal dunia.
Dengan demikian, dalam pandangan umum Katolik, perkawinan di antara penganut agama Katolik dengan penganut agama lain yang mempunyai sifat perkawinan yang sama, tentu akan lebih mudah mendapatkan dispensasi dari Ordinaris Wilayah. Sebaliknya, apabila salah seorang calon mempelai adalah penganut agama yang membolehkan poligami dan mengenal lembaga perceraian, maka dispensasi dapat diberikan dengan syarat mempelai yang bukan Katolik harus berjanji tidak akan berpoligami serta tidak akan menceraikan suami atau istrinya sebelum meninggal dunia.
Menurut pandangan Katolik, setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Uskup, Pastor Paroki, dan Imam. Ini dapat dimaklumi karena agama Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah sakramen. Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah. [ ]